Musik Tradisional dalam Liturgi: Melestarikan Budaya Lokal dalam Ibadah

Musik Tradisional dalam Liturgi: Melestarikan Budaya Lokal dalam Ibadah

Selama berabad-abad, musik telah menjadi bagian integral, bahkan tak terpisahkan, dari perayaan iman Kristen. Dari nyanyian Gregorian yang agung hingga kidung koral reformasi, musik adalah jembatan yang menghubungkan hati manusia dengan kehadiran Ilahi. Namun, di tengah gemuruh arus globalisasi dan musik gereja modern, muncul sebuah panggilan penting bagi gereja-gereja di Indonesia: Memuliakan Tuhan dengan kekayaan budaya lokal melalui Musik Tradisional dalam Liturgi.

Ini bukan sekadar tren; ini adalah sebuah keharusan teologis dan kontekstual. Sekolah Tinggi Teologi ISTTO Hikmat Wahyu menyadari betul bahwa iman yang sejati harus berakar kuat di tanah tempat ia bertumbuh. Mengintegrasikan musik tradisional—baik melodi, ritme, maupun instrumen—ke dalam ibadah adalah langkah nyata dalam melestarikan budaya lokal sekaligus mencapai inkulturasi iman yang mendalam. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa langkah ini krusial dan bagaimana ia dapat memperkaya pengalaman ibadah jemaat.

Dasar Teologis: Mengapa Musik Tradisional Layak di Altar?

Pertanyaan utama yang sering muncul adalah: Apakah musik etnik atau tradisional layak dan suci untuk digunakan dalam liturgi? Jawabannya terletak pada pemahaman kita tentang musik liturgi itu sendiri.

1. Musik sebagai Pelayanan Liturgi (Sacred Music)

Musik dalam ibadah bukanlah hiasan atau selingan, melainkan bagian integral dari tindakan liturgis itu sendiri. Tujuannya adalah membantu umat untuk berdoa, menyatakan iman, dan merayakan misteri keselamatan Kristus (Sacrosanctum Concilium). Jika sebuah melodi atau ritme tradisional mampu membangkitkan kekhusyukan, menyatukan jemaat, dan mengarahkan hati kepada Tuhan, maka ia telah memenuhi fungsi liturgisnya.

2. Inkarnasi dan Kontekstualisasi

Teologi Kristen mengajarkan tentang Inkarnasi, di mana Allah menjadi manusia dalam konteks budaya tertentu (Yohanes 1:14). Prinsip ini menuntut gereja untuk menyajikan Injil dalam “bahasa” budaya lokal. Musik tradisional adalah salah satu ekspresi paling jujur dan mendalam dari identitas suatu kelompok etnis. Ketika alat musik seperti Suling Sunda, Gamelan Jawa, Sasando Rote, atau Gondang Batak digunakan dalam ibadah, Injil seolah-olah “berinkarnasi” ke dalam jiwa dan ritme kehidupan jemaat. Hal ini membuat perjumpaan dengan Allah terasa lebih pribadi, otentik, dan membumi.

3. Pujian Semesta (Praise from All Nations)

Mazmur 150:6 menyerukan agar segala yang bernafas memuji Tuhan. Menggunakan ragam musik tradisional adalah bentuk pengakuan bahwa Allah adalah pencipta dari segala keindahan, termasuk keragaman budaya dan irama di Nusantara. Liturgi yang kaya akan musik tradisional menjadi refleksi dari eklesiologi (doktrin gereja) yang bersifat universal, namun diekspresikan secara lokal.

Tantangan dan Peluang: Peran ISTTO Hikmat Wahyu

Proses integrasi musik tradisional bukanlah tanpa hambatan. Tantangan seringkali datang dari stigma yang menganggap musik tradisional “kurang suci” atau ketidakmampuan musisi gereja untuk menguasai instrumen dan harmoni etnik.

Sekolah Tinggi Teologi ISTTO Hikmat Wahyu mengambil peran penting sebagai pionir dan jembatan dalam mengatasi tantangan ini.

1. Pendidikan Teologi Kontekstual

ISTTO Hikmat Wahyu secara aktif memasukkan mata kuliah dan penelitian yang berfokus pada Teologi Kontekstual dan Inkulturasi Liturgi. Mahasiswa didorong untuk tidak hanya mempelajari teologi Barat, tetapi juga menggali kekayaan budaya lokal sebagai sumber teologis. Mereka belajar cara menganalisis sebuah musik tradisional, memisahkan unsur-unsur yang tidak sesuai dengan ajaran Kristen, dan menyusun aransemen yang tetap menjaga kemuliaan liturgi.

2. Pelatihan dan Pembinaan Musik Gereja Etnik

Mahasiswa dibekali keterampilan praktis dalam memainkan instrumen tradisional dan mengaplikasikannya dalam aransemen kidung jemaat. Ini adalah upaya untuk mencetak Pelayan Musik Liturgi Kontekstual yang mampu membawa kebaruan tanpa meninggalkan kesakralan ibadah. Mereka belajar bahwa musik tradisional adalah sarana, bukan tujuan, dalam penyembahan.

3. Katalisator di Gereja Lokal

Lulusan ISTTO Hikmat Wahyu diharapkan menjadi agen perubahan di gereja-gereja lokal. Mereka bertugas menyelenggarakan workshop dan penyuluhan kepada jemaat, membuka mata mereka terhadap potensi musik tradisional.

Contoh Kasus: Penggunaan melodi Gondang (tradisional Batak) yang diaransemen ulang dengan lirik Kidung Jemaat, atau iringan Sasando (tradisional Rote) yang menggantikan piano, terbukti efektif menumbuhkan rasa kepemilikan dan keterlibatan emosional yang lebih dalam bagi jemaat lokal.

Melestarikan Budaya: Kontribusi Gereja Terhadap Nusantara

Integrasi musik tradisional dalam liturgi memiliki manfaat ganda: Memperkaya ibadah dan Melestarikan Warisan Budaya Bangsa.

Baca Juga: Seminar Nasional Teologi Pengkajian Alktitab Terhadap Sosial dan Budaya 1 November 2025

Penutup: Masa Depan Liturgi Nusantara

Perjalanan menuju Liturgi Nusantara yang sepenuhnya terinkulturasi masih panjang, namun langkah-langkah yang diambil oleh lembaga teologi seperti Sekolah Tinggi Teologi ISTTO Hikmat Wahyu adalah penentu arah yang vital. Mereka mengajarkan bahwa kekudusan tidak harus identik dengan kebarat-baratan.

Musik tradisional dalam liturgi adalah manifestasi dari iman yang dewasa, yang berani bersaksi dengan identitas budayanya sendiri. Ini adalah panggilan untuk membawa kekayaan harmoni, ritme, dan melodi Nusantara yang unik untuk memuliakan Sang Pencipta. Dengan terus mempromosikan inkulturasi yang bijak, gereja di Indonesia tidak hanya merayakan keselamatan Allah, tetapi juga turut merawat dan melestarikan warisan budaya Indonesia yang tak ternilai harganya.

Mari jadikan setiap alat musik tradisional, setiap ritme etnik, sebagai persembahan yang hidup dan harum di hadapan-Nya.

admin
https://sttisttohwsulut.ac.id