Surat Filipi 2:5-11 bukanlah sekadar sepotong nasihat moral, melainkan sebuah himne kuno (sering disebut Carmen Christi atau Himne Kristus) yang melampaui batas teologi. Ditulis oleh Rasul Paulus untuk jemaat di Filipi, nas ini menyajikan potret Kristologi yang paling mendalam dan paling menantang dalam Perjanjian Baru. Ayat-ayat ini memaparkan gerak turun (kenosis) dan gerak naik (exaltatio) Kristus.
Di tengah jemaat Filipi yang sedang menghadapi perpecahan dan ego, Paulus tidak memberikan sekadar nasihat, melainkan sebuah model radikal: Kristus sebagai paradigma kerendahan hati. Ia adalah cetak biru (blueprint) bagi semua hubungan dan pelayanan Kristen. Dalam konteks misi lintas budaya saat ini, Filipi 2:5-11 menjadi fondasi teologis yang kritis, memberikan kerangka kerja bagi para pelayan Injil untuk memahami identitas Kristus (Kristologi), cara Kristus berinteraksi dengan dunia (Kontekstualisasi), dan bagaimana kita harus meneladani-Nya dalam pelayanan (Implikasi Misi). Artikel ini akan mengkaji secara eksegesis tiga dimensi tersebut.
1. Kristologi: Anatomi Gerak Turun (Kenosis) dan Gerak Naik (Exaltatio) Kristus (Filipi 2:6-11)
Filipi 2:6-8 adalah jantung dari nas ini, sebuah deklarasi tentang identitas ganda Kristus—Allah dan Manusia—serta tindakan-Nya yang merendahkan diri secara sukarela.
A. Keilahian yang Dikosongkan (2:6-7a)
“yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri…”
Kata kunci pertama adalah “rupa Allah” (μoρφη˙ Θεov~ – morphē Theou). Kata μoρφη˙ di sini tidak berarti penampilan luar, tetapi hakikat atau esensi keberadaan Kristus sebelum inkarnasi. Paulus menegaskan keilahian Kristus yang sudah ada sejak kekal (pre-existence).
Yang paling radikal adalah frasa “tidak menganggap kesetaraan… sebagai milik yang harus dipertahankan” (α˙ρπαγμ ó v – harpagmon). Kristus memiliki hak penuh atas keilahian-Nya, namun Ia tidak menjadikannya sebagai ‘rampasan’ atau ‘hak istimewa’ yang harus dipegang erat-erat. Ia memilih untuk melepaskan hak tersebut demi kemanusiaan.
Tindakan ini diwujudkan dalam Kenosis (dari $\kappa \varepsilon \nu o ́ \omega$ – kenoō, yang berarti ‘mengosongkan’). Kristus tidak melepaskan sifat keilahian-Nya, tetapi melepaskan hak-hak atau keistimewaan yang melekat pada keilahian-Nya—seperti penggunaan independen dari kemahakuasaan, kemahatahuan, dan kemahakehadiran—saat Ia hidup di bumi sebagai manusia. Kenosis adalah tindakan kasih dan ketaatan.
B. Inkarnasi dan Ketaatan Sampai Salib (2:7b-8)
“…dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib.”
“Mengambil rupa seorang hamba (μoρφη˙ν $\delta o u ́ \lambda o u$ – morphēn doulou)” adalah antitesis sempurna dari morphē Theou. Kristus tidak hanya mengambil rupa manusia biasa, tetapi rupa seorang hamba (budak). Ia masuk ke dalam strata sosial terendah, memanggul kondisi manusiawi yang terbatas, rentan, dan tidak berdaya.
Puncak kenosis ini adalah ketaatan-Nya sampai mati di kayu salib. Salib adalah bentuk hukuman yang paling hina, memalukan, dan terkutuk, baik di mata hukum Romawi maupun Yahudi. Kematian ini menunjukkan kedalaman solidaritas Kristus dengan manusia yang berdosa dan terhukum.
Baca Juga: Kegiatan Pelatihan Paduan Suara STT Istto Hikmat Wahyu
C. Pemuliaan Universal (2:9-11)
“Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan menganugerahkan kepada-Nya nama di atas segala nama… dan segala lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tuhan,’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!”
Karena ketaatan dan kerendahan hati yang ekstrem, Kristus menerima pemuliaan (exaltatio) dari Bapa. Frasa “sangat meninggikan” ($\hat{u} \pi \varepsilon \rho \cup \psi o ́ \omega$ – hyperypsoō) menunjukkan tindakan pemuliaan yang melampaui segala batas. Puncak pemuliaan-Nya adalah gelar “Tuhan” (κ ú ρ l o ς – Kyrios), sebuah gelar yang dalam Perjanjian Lama (Septuaginta) digunakan untuk Yahweh. Dengan demikian, nas ini mengembalikan Kristus pada status tertinggi, menuntut pengakuan universal dari seluruh ciptaan. Pengakuan ini tidak hanya bersifat pribadi, tetapi kosmis.
2. Kontekstualisasi: Kenosis sebagai Metode Misi Inkarnasional
Model kenosis Kristus bukanlah sekadar doktrin untuk diyakini, tetapi sebuah metode pelayanan yang harus dihidupi, khususnya dalam misi lintas budaya (MLBB). Kontekstualisasi adalah proses penerjemahan Injil ke dalam budaya tertentu agar relevan dan dipahami. Filipi 2:5-8 memberikan dasar teologis paling otentik untuk kontekstualisasi.
A. Mengosongkan Diri dari ‘Hak-Hak Budaya’
Sama seperti Kristus melepaskan hak-hak keilahian-Nya, seorang misionaris yang efektif harus rela mengosongkan diri dari hak-hak dan keistimewaan yang melekat pada budaya asalnya—kenyamanan, kekuasaan, standar hidup, atau superioritas etnis.
- Identifikasi Penuh: Kontekstualisasi sejati meniru Inkarnasi Penuh Kristus. Misionaris dituntut untuk benar-benar mendalami, menghargai, dan menyatu dengan budaya lokal, menjadi “sama dengan manusia” di tengah komunitas tersebut. Hal ini menuntut penguasaan bahasa, pemahaman mendalam tentang pandangan dunia (worldview), dan kesediaan untuk hidup sederhana.
- Merangkul Kerentanan: Kristus melepaskan kuasa untuk memeluk kerentanan hamba. Demikian juga, misionaris harus menghindari datang dengan membawa ‘status’ kekayaan atau ‘otoritas’ pendidikan tinggi sebagai tameng. Hanya melalui kerentanan dan kesediaan untuk menderita—berkorban waktu, tenaga, bahkan menghadapi penolakan—maka kesaksian Injil dapat menjadi nyata dan meyakinkan.
B. Misi yang Memuliakan Budaya, Bukan Menguasai
Kontekstualisasi yang didasarkan pada kenosis adalah misi yang memuliakan Kristus melalui budaya setempat, bukan misi yang berusaha menguasai atau menggantikan budaya lokal dengan budaya asal misionaris. Tujuan kenosis dalam misi adalah membuat morphē Theou (hakikat Kristus) terlihat jelas melalui morphēn doulou (rupa hamba/budak budaya). Ini berarti:
- Injil sebagai Pelayan Budaya: Pesan Injil diintegrasikan dan diekspresikan menggunakan bentuk-bentuk budaya lokal (musik, cerita, upacara) yang tidak bertentangan dengan Alkitab, agar Injil tidak dianggap sebagai “agama asing” oleh masyarakat sasaran.
- Jalan Ketaatan: Kontekstualisasi menuntut ketaatan dalam batas-batas etika budaya, bahkan ketika itu tidak nyaman (seperti Salib), selama itu menghasilkan pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dalam bahasa dan hati nurani lokal.
3. Implikasi Etis dan Misi: Menaruh Pikiran Kristus dalam Pelayanan Lintas Budaya (Filipi 2:5)
Ayat 5, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,” adalah jembatan yang menghubungkan Kristologi luhur (2:6-11) dengan etika praktis pelayanan, baik di dalam gereja lokal maupun dalam misi lintas budaya.
A. Pola Pikir (Phronēsis) Pelayan
Kata “pikiran dan perasaan” ($\varphi \rho o ́ \nu \eta \sigma \iota \varsigma$ – phronēsis) mengacu pada disposisi mental, sikap, dan pola pikir yang mengatur tindakan. Ini adalah tuntutan untuk meniru seluruh kisah Kristus dalam cara kita berinteraksi.
- Prioritas Orang Lain: Phronēsis Kristus adalah pola pikir yang berorientasi pada orang lain (selfless), menolak ego, dan selalu mencari kepentingan orang yang dilayani. Ini sangat vital dalam MLBB di mana benturan kepentingan, budaya, dan teologis sering terjadi.
- Menolak Supremasi: Misionaris dengan phronēsis Kristus menolak segala bentuk supremasi budaya atau anggapan bahwa hanya model gereja dari negara asalnya yang valid. Kerendahan hati kenosis memungkinkan misionaris membangun kemitraan yang setara, bukan hubungan dominasi.
B. Dari Salib Hingga Tahta: Visi Misi yang Utuh
Meskipun pelayanan misi penuh dengan pengorbanan dan kerendahan hati (kenosis), ia didorong oleh visi akhir dari pemuliaan universal (exaltatio) (2:9-11).
- Penderitaan sebagai Bagian dari Proses: Misi adalah partisipasi dalam kenosis Kristus. Penderitaan dan penolakan dalam pelayanan adalah konsekuensi dari menempuh jalan yang sama dengan yang Ia tempuh. Ini adalah jalan yang membawa kemuliaan, bukan jalan yang mencari kejayaan instan.
- Motivasi Puncak: Kemuliaan Allah: Tujuan utama semua usaha misi adalah “bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (2:11). Hal ini menjaga motivasi misi tetap murni, menghindari godaan untuk mencari pujian pribadi, pertumbuhan institusi, atau kejayaan denominasi. Pengakuan Yesus Kristus adalah Tuhan di setiap sudut bumi adalah hasil akhir yang diharapkan, mengakhiri persaingan dan perpecahan.
Kenosis sebagai Etos STT Istto Hikmat Wahyu
Filipi 2:5-11 adalah ringkasan Injil dan tuntutan etika. Bagi setiap mahasiswa dan pelayan yang dididik di STT Istto Hikmat Wahyu, nas ini menjadi cetak biru: pelayanan yang otentik adalah pelayanan yang dijiwai oleh kerendahan hati Kristus.
Kajian eksegesis ini menunjukkan bahwa kita tidak bisa mengajarkan Kristologi tanpa mengajarkan kenosis dalam kehidupan praktis. Misi lintas budaya yang efektif dan transformatif adalah misi yang dimulai dari pengosongan diri dan solidaritas mendalam dengan orang lain. Dengan meneladani gerak turun Kristus, kita dipersiapkan untuk ambil bagian dalam pemuliaan-Nya, membawa setiap suku, bangsa, dan bahasa untuk mengakui-Nya sebagai Tuhan. Inilah esensi dari hikmat dan wahyu yang harus kita hidupi.
