Sejak zaman Bapak Gereja hingga era Post-Modern, hubungan antara Teologi dan Filsafat selalu menjadi topik perdebatan yang hangat dan krusial. Apakah kedua disiplin ilmu ini berjalan beriringan, saling menopang dalam pencarian kebenaran? Atau sebaliknya, apakah mereka adalah musuh bebuyutan yang saling menyerang, di mana iman dan akal budi berdiri di sisi yang berlawanan?
Bagi Sekolah Tinggi Teologi ISTTO Hikmat Wahyu—sebuah lembaga pendidikan yang berkomitmen pada integritas doktrin dan kedalaman berpikir—pertanyaan ini bukan sekadar diskusi sejarah, melainkan landasan penting dalam membentuk teolog masa depan yang mampu berdialog dengan dunia modern. Memahami dinamika antara Teologi dan Filsafat adalah kunci untuk menghasilkan teologi yang kokoh secara biblis, relevan secara kontekstual, dan kredibel secara rasional.
I. Dua Jalan Menuju Kebenaran: Perbedaan Mendasar
Untuk memahami dinamika antara keduanya, kita perlu meninjau kembali perbedaan mendasar dalam sumber dan metode.
Teologi: Berakar pada Wahyu (Iman)
Teologi (dari bahasa Yunani Theos = Allah, dan logos = ilmu/perkataan) secara hakiki adalah studi tentang Allah, keberadaan-Nya, karya-Nya, dan hubungan-Nya dengan dunia, berdasarkan Wahyu Ilahi.
- Sumber Utama: Kitab Suci atau teks-teks sakral, yang diterima melalui Iman.
- Tujuan: Memahami dan menginterpretasikan kehendak dan natur Allah serta mempertanggungjawabkan iman (fides quaerens intellectum – iman yang mencari pengertian, menurut Anselmus).
- Premis Dasar: Kebenaran adalah given (diberikan) dan harus diyakini terlebih dahulu.
Filsafat: Berakar pada Akal Budi (Rasio)
Filsafat (dari bahasa Yunani philein = mencintai, dan sophia = kebijaksanaan) adalah upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan, makna, dan kebenaran menggunakan Akal Budi atau rasio.
- Sumber Utama: Akal murni, observasi empiris, dan penalaran logis.
- Tujuan: Mengajukan pertanyaan fundamental tentang eksistensi, pengetahuan, nilai, dan realitas tanpa harus bergantung pada otoritas eksternal.
- Premis Dasar: Kebenaran harus ditemukan dan dibuktikan melalui penyelidikan rasional yang kritis.
Perbedaan sumber dan metode inilah yang sering memicu ketegangan, di mana filsafat menuntut pembuktian rasional atas apa yang teologi terima melalui iman, dan teologi menuduh filsafat sebagai keangkuhan akal yang mereduksi misteri Ilahi.
II. Kilasan Sejarah: Dari Tuan dan Budak hingga Rekan Dialog
Hubungan antara Teologi dan Filsafat telah mengalami pasang surut yang dramatis sepanjang sejarah peradaban Barat dan pemikiran Kristen:
1. Era Awal: Kecurigaan dan Penolakan
Pada abad-abad awal kekristenan, beberapa Bapa Gereja, seperti Tertullian, memandang filsafat Yunani (terutama Platonisme) dengan kecurigaan. Tertullian terkenal dengan pertanyaan retorisnya, “Apa hubungannya Athena [pusat filsafat] dengan Yerusalem [pusat iman]?” Filsafat dianggap sebagai sumber ajaran sesat yang merusak kemurnian Wahyu.
2. Abad Pertengahan: Filsafat sebagai “Hamba” (Ancilla Theologiae)
Titik balik utama terjadi pada Abad Pertengahan. Para teolog Skolastik, yang paling menonjol adalah Thomas Aquinas, berhasil mengintegrasikan filsafat Aristoteles ke dalam kerangka teologi Kristen.
- Filsafat sebagai Pelayan Teologi (Ancilla Theologiae): Di sini, filsafat diposisikan sebagai alat bantu yang melayani teologi. Akal budi digunakan untuk:
- Membuktikan adanya Allah (Proofs for God’s Existence).
- Memperjelas dan merumuskan doktrin-doktrin teologis secara sistematis dan logis.
- Mempertahankan ajaran iman dari serangan rasional.
Pada era ini, hubungan keduanya adalah saling menguatkan di bawah supremasi Teologi.
3. Abad Modern: Saling Menyerang dan Otonomi Rasio
Revolusi Pencerahan (Enlightenment) di abad modern membalikkan peran. Akal budi (rasio) menuntut otonomi penuh. Filsafat modern, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Immanuel Kant, mulai menyerang dan mempertanyakan klaim-klaim Teologi, menuntut pembuktian empiris yang melampaui kemampuan Wahyu. Filsafat menjadi “tuan” dan Teologi dipaksa untuk beradaptasi, melahirkan aliran Teologi Liberal yang mencoba merasionalisasi atau menolak aspek-aspek supranatural dalam Alkitab. Ini adalah periode saling menyerang yang paling nyata.
III. Visi ISTTO Hikmat Wahyu: Kolaborasi Kritis dan Sehat
Sekolah Tinggi Teologi ISTTO Hikmat Wahyu mengambil posisi yang melihat relasi Teologi dan Filsafat bukan sebagai pertentangan, melainkan sebagai sebuah dialog yang kritis dan kolaboratif demi keutuhan kebenaran. Kami berpegang pada keyakinan bahwa semua kebenaran adalah kebenaran Allah, baik yang ditemukan melalui Wahyu (Teologi) maupun yang diungkap melalui akal budi (Filsafat).
Filsafat sebagai Partner Teologi
Dalam kurikulum ISTTO Hikmat Wahyu, filsafat tidak sekadar dipelajari, tetapi diintegrasikan untuk menjadi partner teologi dalam tugas-tugas berikut:
1. Menajamkan Pemikiran Kritis (Analisis)
Filsafat membekali mahasiswa dengan kemampuan untuk:
- Berpikir Logis: Menganalisis argumen teologis secara koheren, mengidentifikasi kesalahan logika (fallacy), dan menyusun doktrin dengan jelas.
- Merumuskan Konsep: Menyediakan perangkat konseptual (ontologi, epistemologi, etika) yang diperlukan untuk menjelaskan konsep-konsep Ilahi yang abstrak (misalnya, esensi Trinitas, sifat dosa, atau kebebasan kehendak).
2. Mendorong Relevansi Kontekstual (Aproksimasi)
Dengan memahami kerangka berpikir filosofis yang dominan di suatu era atau budaya (misalnya, Post-Modernisme, Eksistensialisme), teolog lulusan ISTTO Hikmat Wahyu dapat:
- Berdialog: Menyajikan kebenaran Injil menggunakan bahasa dan kategori berpikir yang dapat dipahami oleh masyarakat non-teologis.
- Merumuskan Teologi Kontekstual: Menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis abadi (Mengapa ada penderitaan? Apa makna hidup?) dengan landasan Alkitabiah, sehingga teologi tidak menjadi menara gading yang terisolasi.
3. Membela Iman (Apologetika)
Filsafat adalah sarana apologetika yang esensial. Mahasiswa belajar bagaimana mempertahankan iman Kristen secara rasional dari kritik yang datang dari ateisme, agnostisisme, atau pandangan dunia sekuler lainnya. Mereka menggunakan alat-alat filsafat (seperti filsafat bahasa, filsafat ilmu, dan logika) untuk menunjukkan konsistensi dan rasionalitas iman.
IV. Kesimpulan: Iman yang Mencari Pengertian Rasional
Pada akhirnya, hubungan antara Teologi dan Filsafat bukan tentang siapa yang menang atau kalah, melainkan tentang bagaimana keduanya dapat berkolaborasi dalam mencapai pemahaman yang lebih kaya dan utuh tentang Realitas tertinggi.
Sekolah Tinggi Teologi ISTTO Hikmat Wahyu menegaskan bahwa Teologi harus memegang otoritas tertinggi karena berlandaskan pada Wahyu Ilahi yang definitif. Namun, Teologi yang baik dan bertanggung jawab tidak akan pernah takut pada akal budi, karena akal budi adalah anugerah Allah.
Oleh karena itu, visi ISTTO Hikmat Wahyu adalah menjembatani jurang historis antara iman dan rasio. Kami melatih generasi teolog yang menggunakan Filsafat sebagai pelayan yang dihormati, yang membantu menguatkan iman mereka melalui kerangka rasional dan logis, sehingga mereka dapat menjadi Hikmat Wahyu yang terang di tengah kegelapan pemikiran dunia. Dengan demikian, mereka bukan hanya tahu apa yang mereka yakini, tetapi juga tahu mengapa mereka yakin.
