Di era yang serba cepat dan penuh tantangan ini, lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk mencetak lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademis (hard skill), tetapi juga tangguh dalam karakter dan mahir dalam interaksi sosial (soft skill). Bagi Sekolah Tinggi Teologi (ISTTO Hikmat Wahyu), tantangan ini dijawab melalui integrasi kurikulum yang unik: menggabungkan kedalaman teologi dengan pengalaman pelayanan praktis secara intensif.
Kisah para Mahasiswa ISTTO Hikmat Wahyu merupakan studi kasus menarik tentang bagaimana sebuah kampus teologi berhasil mengubah tugas pelayanan menjadi laboratorium pengembangan diri yang sesungguhnya. Mereka tidak menunggu lulus untuk berkarya; mereka belajar sambil melayani, mengasah keterampilan pelayanan mereka di dua panggung utama: keceriaan Sekolah Minggu dan ketegasan Mimbar gereja.
Arena Pengembangan Keterampilan (I): Sekolah Minggu – Laboratorium Empati dan Komunikasi Kreatif
Banyak yang menganggap pelayanan Sekolah Minggu sebagai tugas remeh, namun di mata Mahasiswa ISTTO Hikmat Wahyu, ini adalah medan latihan paling krusial untuk mengasah soft skill yang tak ternilai.
1. Menguasai Komunikasi Multilevel
Berbicara kepada jemaat dewasa di Mimbar adalah satu hal, tetapi berkomunikasi dengan anak-anak adalah tantangan lain yang jauh lebih kompleks. Di Sekolah Minggu, mahasiswa dilatih untuk:
- Menyederhanakan Konsep Teologis: Mereka harus mampu menyarikan doktrin-doktrin teologis yang berat dan abstrak menjadi kisah sederhana, analogi, atau permainan yang mudah dicerna oleh pikiran anak-anak. Ini adalah latihan penting dalam kejelasan berkomunikasi.
- Menarik Perhatian (Engaging Delivery): Mahasiswa harus mengembangkan kreativitas di luar materi Alkitab. Mereka belajar menggunakan alat peraga, panggung boneka, musik, dan mendongeng untuk menjaga fokus anak-anak yang rentan terdistraksi. Keterampilan ini sangat penting untuk menjadi penyaji yang persuasif, baik di Mimbar maupun dalam presentasi profesional.
2. Belajar Empati dan Kesabaran Pastoral
Melayani anak-anak adalah pelajaran sejati dalam empati. Mahasiswa belajar bahwa setiap anak memiliki kebutuhan dan latar belakang yang berbeda.
- Pengelolaan Emosi dan Konflik: Mereka harus menghadapi anak yang tantrum, anak yang pemalu, atau konflik kecil antar teman. Situasi ini menggembleng kesabaran dan kemampuan pengelolaan konflik—keterampilan pastoral yang sangat dibutuhkan saat mereka melayani jemaat dewasa kelak.
- Keterampilan Mendengarkan Aktif: Sering kali, melalui pertanyaan lugu anak-anak, mahasiswa diajak untuk merenungkan kembali pemahaman teologis mereka. Ini mengajarkan mereka untuk menjadi pendengar yang peka, bukan hanya pembicara yang dominan.
Arena Pengembangan Keterampilan (II): Mimbar – Panggung Integritas dan Kepemimpinan
Jika Sekolah Minggu mengasah sisi nurturing dan kreatif, maka Mimbar adalah tempat Mahasiswa ISTTO Hikmat Wahyu menguji hard skill teologis mereka dan kemampuan kepemimpinan rohani.
1. Ketajaman Berpikir Kritis dan Analisis Alkitab
Diberi kesempatan berkhotbah di Mimbar berarti harus bertanggung jawab menyampaikan kebenaran. Mahasiswa dituntut untuk:
- Melakukan Eksegesis Mendalam: Tidak cukup hanya membaca, mereka harus menggali konteks sejarah, budaya, dan bahasa asli Alkitab. Hal ini meningkatkan kemampuan analisis dan berpikir kritis yang merupakan fondasi kuat dalam setiap disiplin ilmu.
- Struktur dan Logika Penyampaian: Khotbah yang baik harus memiliki alur yang jelas, logis, dan relevan dengan konteks jemaat masa kini. Mahasiswa belajar menyusun argumen yang kuat, dari pendahuluan, isi, hingga klimaks, mengaplikasikan ilmu Retorika yang dipelajari di kelas.
2. Mengembangkan Kepercayaan Diri Publik dan Otoritas
Berdiri di hadapan jemaat, baik kecil maupun besar, adalah momen yang menguji kepercayaan diri seseorang.
- Mengatasi Kecemasan Berbicara di Depan Umum: Paparan rutin di Mimbar membantu mahasiswa mengatasi glossophobia (ketakutan berbicara di depan umum) dan mengembangkan gaya presentasi yang otentik dan berkarakter.
- Membangun Otoritas Rohani: Mahasiswa belajar bagaimana berbicara bukan sekadar mengutip, tetapi menyampaikan pesan dengan otoritas yang berasal dari pemahaman mendalam dan pengalaman rohani pribadi. Ini adalah pelajaran tentang Integritas—memastikan apa yang mereka katakan sejalan dengan apa yang mereka hidupi.
3. Keterkaitan Teori dan Kontekstualisasi Pelayanan
Mimbar adalah titik temu antara teori di kelas dan realitas jemaat.
- Kontekstualisasi Isu: Mahasiswa harus mampu mengaitkan ajaran Alkitab dengan isu-isu sosial, ekonomi, dan psikologis yang dihadapi jemaat, misalnya tentang mental health, teknologi, atau korupsi. Kemampuan kontekstualisasi ini menjadikan pelayanan mereka relevan dan berdampak nyata bagi kehidupan sehari-hari jemaat.
Baca Juga: Kuliah Online: Bersama Dr. Ir. Albiner Siagian tentang Teologi di Era Digital
Pendidikan Holistik ISTTO: Mengubah Lulusan Menjadi Pemimpin yang Siap Tempur
Model pendidikan yang dijalankan oleh ISTTO Hikmat Wahyu melalui “Sekolah Minggu dan Mimbar” adalah manifestasi dari pendidikan holistik yang bertujuan membentuk hamba Tuhan yang cakap ilmu dan cakap lapang.
Dampak Jangka Panjang bagi Mahasiswa:
- Portofolio Pelayanan yang Kuat: Setiap pengalaman di Sekolah Minggu dan Mimbar menjadi bagian dari portofolio. Ini bukan sekadar daftar riwayat hidup, tetapi bukti nyata bahwa mereka telah diuji dalam situasi pelayanan yang beragam.
- Karakter yang Teruji: Proses pelayanan intensif—terkadang menghadapi kritik, perbedaan pendapat dengan senior, atau kegagalan program—menggandakan karakter mereka menjadi pribadi yang tangguh, rendah hati, dan berorientasi pada solusi.
- Memperluas Jaringan (Networking): Kemitraan strategis ISTTO dengan gereja-gereja lokal memungkinkan mahasiswa membangun jaringan profesional yang luas, membuka peluang penempatan pelayanan setelah kelulusan.
Dengan memasukkan praktik di Sekolah Minggu dan Mimbar sebagai bagian integral dari proses belajar, ISTTO Hikmat Wahyu memastikan bahwa mahasiswa mereka tidak hanya menjadi teolog yang pintar, tetapi juga pelayan yang efektif, pemimpin yang inspiratif, dan pribadi yang matang. Mereka telah menanamkan soft skill pelayanan di usia muda, mempersiapkan mereka untuk menjawab panggilan Tuhan di tengah kompleksitas dunia modern.
Apakah Anda atau orang yang Anda kenal mencari pendidikan yang tidak hanya memberi ijazah, tetapi juga membentuk karakter dan keterampilan pelayanan sejati? Kisah Mahasiswa ISTTO Hikmat Wahyu ini membuktikan, tempat terbaik untuk belajar adalah tempat terbaik untuk melayani!

Leave a Reply