Sekolah Tinggi Teologi ISTTO Hikmat Wahyu – Rabu (24/09/2025) Era digital telah mengubah hampir setiap aspek kehidupan manusia, mulai dari cara kita bekerja, bersosialisasi, hingga beribadah. Dalam konteks keagamaan, tantangan sekaligus peluang besar muncul: bagaimana teologi—ilmu tentang Tuhan—dapat berbicara dan relevan di tengah banjir informasi, kecepatan algoritma, dan dominasi media sosial?
Untuk menjawab pertanyaan fundamental ini, Kuliah Online yang sangat dinanti telah digelar, menghadirkan sosok multidisiplin yang jarang ditemui: Dr. Ir. Albiner Siagian. Dengan latar belakang yang kuat baik di bidang teknik maupun teologi, Dr. Siagian menawarkan perspektif unik tentang Teologi di Era Digital yang jauh melampaui sekadar penggunaan gadget di gereja.
Artikel ini akan mengupas tuntas poin-poin krusial dari pemikiran Dr. Ir. Albiner Siagian, menyoroti bagaimana gereja dan umat beriman harus beradaptasi, berteologi, dan bertindak etis dalam lanskap digital yang terus berubah.
Dr. Ir. Albiner Siagian: Jembatan Antara Logika dan Iman
Sebelum menyelami materinya, penting untuk memahami mengapa Dr. Ir. Albiner Siagian menjadi narasumber yang tepat untuk topik ini. Gelar “Dr. Ir.” (Doktor Insinyur) menunjukkan keahliannya di bidang sains dan teknologi yang berbasis logika dan sistem, sementara pengetahuannya yang mendalam di bidang teologi memungkinkannya menjembatani dua dunia yang sering dianggap berseberangan: Sains-Teknologi dan Iman-Spiritualitas.
Dalam kuliah onlinenya, Dr. Siagian menekankan bahwa teknologi, termasuk platform digital, bukanlah entitas netral. Ia membawa asumsi filosofis, etika tersembunyi, dan struktur kekuasaan yang secara halus membentuk cara kita memandang diri sendiri, orang lain, dan bahkan Tuhan. Inilah alasan mengapa teologi digital perlu dikaji secara serius, bukan sekadar pelengkap.
Tiga Pilar Teologi di Era Digital Menurut Dr. Siagian
Dr. Albiner Siagian menggarisbawahi tiga area utama di mana teologi harus terlibat secara aktif dalam ranah digital:
1. Rekonstruksi Komunitas (Koinonia) Digital
Dalam tradisi Kristen, koinonia berarti persekutuan atau komunitas yang mendalam. Era digital menawarkan konektivitas instan, tetapi sering kali menghasilkan hubungan yang dangkal (shallow relationships) dan polarisasi (echo chambers).
- Tantangan Pseudo-Koinonia: Dr. Siagian mengingatkan bahwa kehadiran fisik tidak bisa sepenuhnya digantikan. Komunitas online cenderung bersifat opt-in dan mudah dihilangkan (unfriend atau mute), berbeda dengan komunitas fisik yang menuntut komitmen dan ketahanan.
- Panggilan Teologis: Teologi harus mengajukan pertanyaan: Bagaimana kita menciptakan komunitas digital yang otentik, di mana empati dan kerentanan (sifat manusiawi) dapat bertahan di tengah citra kesempurnaan di media sosial? Persekutuan digital harus mengarah pada aksi nyata (pelayanan), bukan sekadar konsumsi konten religius.
2. Etika Digital dan Identitas Manusia (Imago Dei)
Isu etika digital adalah jantung dari pemikiran Dr. Siagian. Jika manusia diciptakan menurut Gambar dan Rupa Allah (Imago Dei), bagaimana gambar ini tercermin (atau terdistorsi) di ruang digital?
- Krisis Identitas Online: Media sosial mendorong kita untuk membangun persona yang ideal, seringkali menutupi kerapuhan dan keaslian. Dr. Siagian menyebut ini sebagai bahaya “teologi tampilan”, di mana nilai seseorang diukur dari likes atau follower count. Teologi harus menegaskan kembali bahwa nilai manusia adalah inheren, diberikan oleh Tuhan, dan tidak bergantung pada validasi digital.
- Etika Data dan Algoritma: Dr. Siagian menyoroti bahwa algoritma bukan Tuhan, tetapi ia memiliki kekuatan seperti Tuhan: mengatur apa yang kita lihat, memprediksi perilaku, dan bahkan memengaruhi pilihan politik. Teologi Etika Digital harus mengajarkan umat beriman untuk bersikap kritis terhadap bias algoritma dan menggunakan data secara bertanggung jawab dan adil, khususnya terkait kecerdasan buatan (AI).
Baca Juga: Peran Aktif Mahasiswa STT ISTTO Hikmat Wahyu
3. Teologi Incarnational di Dunia Virtual
Bagaimana teologi mewujudkan dirinya (incarnational) di dunia yang didominasi oleh virtualitas?
- Kehadiran dan Ketubuhan: Teologi Kristen berpusat pada Inkarnasi (Tuhan menjadi manusia). Dr. Siagian menantang gereja untuk membawa “ketubuhan” dan “kehadiran sejati” ke dalam ranah digital. Ini berarti konten keagamaan harus disampaikan dengan empati mendalam, merangkul realitas penderitaan dan kesulitan, alih-alih hanya menawarkan spiritualitas instan.
- Misi Digital yang Kritis: Misi gereja di era digital bukan sekadar menyebar pesan, tetapi memberdayakan umat agar menjadi agen kritis dan pembawa damai di tengah hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi online. Gereja harus melatih umatnya untuk menjadi “digital discerners“—orang yang mampu memilah kebenaran dan kebaikan di tengah hiruk pikuk informasi.
Strategi Implementasi: Dari Wacana ke Aksi Nyata
Dr. Ir. Albiner Siagian tidak berhenti pada analisis filosofis. Beliau menawarkan beberapa langkah praktis bagi institusi keagamaan untuk mengintegrasikan teologi dan digital:
- Pendidikan Digital yang Integratif: Kurikulum teologi harus mencakup mata kuliah online tentang etika AI, teologi media, dan manajemen data. Pemimpin gereja dan sekolah agama perlu memahami infrastruktur digital.
- Desain Ruang Ibadah Hybrid: Gereja perlu mendesain ulang liturgi dan pelayanan yang dapat melayani jemaat offline dan online secara setara. Streaming ibadah harus lebih dari sekadar siaran; ia harus menjadi pengalaman partisipatif.
- Literasi Media Kritis: Gereja harus menjadi garda depan dalam mengedukasi jemaat tentang bahaya hoaks dan pentingnya Literasi Digital. Ini adalah bentuk pelayanan pastoral baru untuk menjaga pikiran dan jiwa.
Tantangan Terbesar: Menjaga Kedalaman di Era Kecepatan
Kuliah online Dr. Siagian menyimpulkan bahwa tantangan terbesar Teologi di Era Digital adalah menjaga kedalaman spiritual di tengah kecepatan dan distraction yang ditawarkan teknologi. Iman menuntut refleksi, keheningan, dan kontemplasi—sifat-sifat yang berlawanan dengan budaya scrolling tanpa henti.
- Iman yang Offline: Teologi digital yang sehat harus selalu menarik umatnya kembali pada realitas offline: melayani tetangga, merawat lingkungan fisik, dan membangun hubungan tatap muka. Digitalisasi ibadah adalah alat, bukan tujuan akhir.
Dr. Ir. Albiner Siagian melalui pemikirannya telah memberikan peta jalan yang jelas: Teologi harus berani menghadapi teknologi secara kritis, etis, dan incarnational. Hanya dengan begitu, iman dapat tetap relevan dan menghasilkan transformasi di hati umat yang hidup di bawah langit algoritma.

Leave a Reply